Apoteker Kamboja di Singapura Ditolak Izin Obat, Lisensi Dicabut karena Tak Laporkan Kondisi Mental

Unik4d Media | Apoteker Kamboja di Singapura Ditolak Izin Obat

Unik4d Media | Apoteker Kamboja Ditolak Izin Obat di Singapura: Pelajaran tentang Transparansi dan Regulasi Kesehatan

Pada November 2025, Dewan Farmasi Singapura (Singapore Pharmacy Council) menjatuhkan keputusan tegas terhadap seorang apoteker perempuan berkewarganegaraan Kamboja yang bekerja di sebuah apotek komunitas di Singapura. Ia kehilangan lisensi profesionalnya setelah terbukti mengajukan permohonan izin penggunaan obat psikotropika—khususnya clonazepam—tanpa mengungkapkan riwayat rawat inap psikiatri yang sebenarnya.

Kasus ini menyoroti pentingnya integritas, transparansi, dan kepatuhan terhadap regulasi medis, terutama bagi tenaga kesehatan yang menangani obat-obatan terkontrol.


Unik4d Media | Kronologi Pelanggaran

Wanita berusia 35 tahun ini—yang telah tinggal di Singapura sejak 2009 dan menjadi apoteker terdaftar sejak 2015—mengalami gangguan kecemasan dan depresi sejak 2020. Pada 2023, ia menjalani rawat inap selama 14 hari di fasilitas psikiatri di Kamboja. Namun, ketika ia kembali ke Singapura dan mencari resep clonazepam (obat penenang golongan benzodiazepin) pada April 2024, ia tidak mengungkapkan riwayat rawat inap tersebut kepada dokter.

Lebih parah lagi, ia mengisi formulir permohonan izin obat psikotropika ke Kementerian Kesehatan (MOH) dengan menyatakan bahwa ia tidak pernah dirawat di rumah sakit jiwa—pernyataan yang terbukti tidak benar setelah investigasi dilakukan.


Dampak Profesional dan Etis

Sebagai apoteker, ia seharusnya memahami bahwa:

  • Obat seperti clonazepam termasuk golongan obat terkontrol yang penggunaannya diatur ketat.
  • Tenaga kesehatan wajib melaporkan kondisi kesehatan mental yang dapat memengaruhi kinerja atau penilaian klinis.
  • Memberikan informasi palsu dalam dokumen resmi adalah pelanggaran serius terhadap kode etik profesi.

Dewan Farmasi akhirnya memutuskan untuk mencabut lisensinya selama 6 bulan, mewajibkannya menjalani evaluasi psikiatri, dan melarangnya menangani obat terkontrol selama 2 tahun setelah kembali bekerja.


Respons dan Refleksi

Dalam sidang, sang apoteker mengaku merasa malu dan takut dikucilkan jika mengakui riwayat psikiatri-nya. Ia berharap bisa mengelola kondisinya secara pribadi. Namun, dewan menekankan bahwa profesi kesehatan bukan hanya soal izin kerja—tapi juga soal kepercayaan publik.

“Ketika Anda menangani obat yang bisa menyelamatkan atau membahayakan nyawa, setiap keputusan harus didasari kejujuran—terutama terhadap diri sendiri,” kata salah satu anggota dewan.


Pelajaran untuk Komunitas Profesional

Kasus ini menjadi pengingat penting, termasuk bagi komunitas digital seperti unik4d, yang kerap menyoroti isu kesehatan mental di kalangan profesional muda:

“Mencari bantuan bukan kelemahan—menyembunyikannya dalam sistem yang mengatur nyawa orang lain, itulah yang berbahaya.”

Dukungan terhadap kesehatan mental harus dibarengi dengan akuntabilitas profesional, terutama di bidang yang rentan terhadap kesalahan fatal.


Penutup
Kesehatan mental adalah bagian sah dari kesehatan manusia. Tapi di profesi regulasi tinggi seperti farmasi, transparansi bukan pilihan—tapi kewajiban moral. Semoga kasus ini mendorong sistem yang lebih empatik—tanpa mengorbankan standar keselamatan pasien.

1 thought on “Apoteker Kamboja di Singapura Ditolak Izin Obat, Lisensi Dicabut karena Tak Laporkan Kondisi Mental”

Leave a Comment