
Ibu Pelaku Penembakan Bondi Beach: “Anak Saya Anak Baik” di Tengah Tragedi Nasional
Di tengah duka mendalam atas penembakan mematikan di dekat Bondi Beach, Sydney, yang menewaskan 15 orang dalam perayaan Hanukkah, muncul pernyataan yang menggugah: ibu salah satu tersangka, Naveed Akram (24), menolak percaya bahwa putranya terlibat dalam aksi teror.
“Siapa pun pasti ingin punya anak seperti putraku… dia anak yang baik,” kata Verena Akram kepada Sydney Morning Herald, berdiri di depan rumah keluarganya di Bonnyrigg yang sedang dijaga ketat polisi.
Ia mengungkap bahwa putranya baru saja meneleponnya pada Minggu pagi (14 Desember) untuk bercerita tentang aktivitas menyelam dan makan bersama ayahnya di Jervis Bay—yang mereka sebut sebagai “liburan memancing”. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan, apalagi niat kekerasan.
Profil yang Kontradiktif
Menurut sang ibu, Naveed adalah pria pendiam yang:
- Tidak pernah minum alkohol atau merokok
- Jarang keluar rumah, kecuali untuk bekerja atau berolahraga
- Tidak punya teman dekat sejak remaja
- Pernah bekerja sebagai tukang batu
Namun, otoritas Australia mengungkap bahwa Naveed pernah masuk daftar pengawasan pada 2019 karena diduga bersumpah setia kepada ISIS. Meski begitu, badan intelijen Australia (ASIO) menilainya tidak berisiko tinggi untuk melakukan serangan—penilaian yang kini dipertanyakan publik.
Salah seorang rekan kerjanya menggambarkan Naveed sebagai “operator aneh” yang “misterius dan jarang bicara”, sementara mantan bosnya justru menyebutnya “tekun dan terpercaya”.
Ketika Cinta Menutup Mata
Pernyataan Verena mencerminkan fenomena yang sering muncul dalam kasus radikalisasi: keluarga korban seringkali buta terhadap perubahan perilaku pelaku, karena cinta, harapan, atau ketakutan akan stigma.
Bagi banyak orang, klaim “dia anak baik” justru memperdalam rasa ngeri—karena menunjukkan betapa radikalisasi bisa terjadi dalam diam, bahkan di tengah keluarga yang “normal”.
Refleksi dari Komunitas Digital
Kasus ini tidak hanya menjadi berita utama di Australia, tapi juga memicu diskusi luas di Asia Tenggara. Platform seperti unik4d, yang kerap mengangkat isu ekstremisme dan konflik identitas dari perspektif budaya populer, turut menyoroti paradoks ini.
“Tragedi bukan hanya di Bondi Beach—tapi juga di meja makan keluarga yang tak sadar putranya berubah. Terkadang, cinta justru jadi penghalang kebenaran,” tulis salah satu diskusi yang muncul di komunitas yang terhubung dengan unik4d.
Penutup
Penembakan Bondi Beach bukan hanya soal keamanan atau ideologi—tapi juga kisah tentang kebutaan emosional yang muncul dari harapan terlalu tinggi pada normalitas. Di tengah pencarian keadilan, satu pertanyaan menggantung:
Bagaimana kita mengenali monster yang menyamar sebagai anak baik?
#file[Blog_Comment.dat